Rabu, 04 Juni 2014

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Kajian yang menghubungkan antara latar belakang sosial budaya dan politik al-Basrah dan  al-Kufah dengan perbedaan pandangan mereka dalam masalah kajian nahwu, dari hasil penelusuran  peneliti secara mendalam belum banyak dilakukan, hanya ada beberapa buku yang menyinggung tentang latar belakang sosial budaya dan politik al-Basrah dan al-Kufah yang dikaitkan dengan  perbedaan keduanya dalam masalah nahwu, itupun hanya mendeskripsikan permukaannya saja belum didukung dengan data dan argumentasi yang mendalam. Misalnya al-As`ad (1992) dalam karyanya al-Wasit fi Tarikh al-Nahwi al-Arabi menyebutkan bahwa: sebelum terjadinya perdebatan dan perbedaan pendapat antara aliran al-Basrah dan al-Kufah dalam masalah nahwu, kedua kota tersebut telah mempunyai pandangan politik yang berbeda.[1]
Demikian juga Ahmad Amin, dia menyatakan bahwa perdebatan yang panas antara Basrah dan Kufah dalam masalah nahwu dilatarbelakangi oleh fanatisme keduanya dalam berpolitik[2], dan ada beberapa yang lainnya.
Sebelum  al-Basrah  dan  al-Kufah  berbeda  pendapat  dan  terlibat  secara langsung pada kajian nahwu, dalam  sejarah  tercatat bahwa dua kota  tersebut memang sudah  ada  perbedaan,  mulai  dari  letak  geografisnya,  penduduknya,  kondisi  sosial budaya, kondisi politik, dan lain sebagainya.[3]
al-Tawil menyatakan bahwa hampir disemua pembahasan nahwu telah terjadi perbedaan pendapat  antara madrasah Basrah dan Kufah, lebih rinci al-Anbari[4] telah menyebutkan dan menjelaskan seratus dua puluh satu (121) masalah nahwu yang diperdebatkan antara madrasah Basrah dan Kufah. Perbedaan pendapat tersebut berkaitan dengan al-amil, al-irab dan al-bina’, al-taqdim dan al-ta’khir, dan permasalahan nahwu lainnya[5].
Permasalah nahwu yang diperdebatkan madrasah al-Basrah dan al-Kufah ini tentunya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan manhaj yang digunakan masing-masing, perbedaan kondisi sosial-budaya antara masyarakat Basrah dan Kufah, kondisi  sosial-politik  dan  lain-lainnya. Kondisi sosial-budaya dan sosial-politik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap bahasa. 
Ada berbagai teori mengenai hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Hubungan antara  bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa berada di bawah kebudayaan. Masinambouw (1985) menambahkan bahwa yang menjadi main sistem (sistem atasan)  adalah kebudayaan sedangkan bahasa menjadi subsystem. Dengan demikian maka yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan  sikap yang dimiliki oleh masyarakat penutur.
Menurut Silzer (1990) bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua  buah fenomena yang terikat,  bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sisi yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya. Selain  itu, bahasa juga menggambarkan setting sosial yang  sedang terjadi. Artinya situasi yang sedang terjadi di masyarakat hampir tercermin di dalam praktik berbahasa, sebab menurut Paina, salah satu peran bahasa adalah untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peran-peran sosial, termasuk peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa sendiri. Karenanya situasi yang aman dan damai akan melahirkan simbol-simbol kebahasaan yang mantap dan stabil. Sebaliknya, situasi yang bergejolak  dan tidak menentu juga akan tercermin dalam ungkapan-ungkapan bahasa yang bersifat ambigu dan makna yang simpang siur.
Bedasarkan penjelasan di atas, nampak jelas bahwa bahasa tidak bisa terlepas dari unsur sosial budaya, dan sosial politik, demikian juga dengan bahasa Arab. Munculnya perbedaan antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah serta madrasah yang lainnya dalam masalah nahwu, nampaknya  juga tidak terlepas dengan kondisi sosial, budaya, dan politik masing-masing.
Karena itu, penjelasan di atas mendorong penulis untuk melakukan kajian lebih mendalam  tentang  perdebatan antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah dalam masalah nahwu yang akan terfokus  kepada faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya perbedaan pendapat antara kedua madrasah tersebut. 

B. Rumusan Masalah
1. Apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Basroh?
2. Apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Kufah?
3. Apa saja masalah-masalah yang diperdebatkan antara nahwu Basroh dan Kufah?
C. Tujuan Penulisan
            1. Untuk mengetahui apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Basroh
2. Untuk mengetahui apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Kufah
3. Untuk mengetahui apa saja masalah-masalah yang diperdebatkan antara nahwu Basrah dan Kufah



[1] Abd  al-Karim Muhammad  al-Asad,  al-Wasit  fi  Tarikh  al-Nahwi  al-Arabi (al-Riyad: Dar al-Shawwaf, 1992), 39. Ahmad Amin, Fazr al-Islam  (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 181.
[2] Ahmad  Amin,  Duha  al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 469. Bandikan  dengan  al-Sinjirji  al-Madhahib al-Nahwiyah fi Daw’i al-Dirasah al-Lughawiyah al-Hadithah (Jiddah: al-Faysaliyah, 1986).

[3] al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah watahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faysaliyah, 1984), 70-79.
[4] Lihat al-Anbari, al-Insaf fi Masail al-Khilaf  bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (Mas: DarIhya al-Turath al-Arabi)
[5] Ibid. 195.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda