BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kajian yang
menghubungkan antara latar belakang sosial budaya dan politik al-Basrah
dan al-Kufah dengan perbedaan pandangan
mereka dalam masalah kajian nahwu, dari hasil penelusuran peneliti secara mendalam belum banyak
dilakukan, hanya ada beberapa buku yang menyinggung tentang latar belakang
sosial budaya dan politik al-Basrah dan al-Kufah yang dikaitkan dengan perbedaan keduanya dalam masalah nahwu,
itupun hanya mendeskripsikan permukaannya saja belum didukung dengan data dan
argumentasi yang mendalam. Misalnya al-As`ad (1992) dalam karyanya al-Wasit fi
Tarikh al-Nahwi al-Arabi menyebutkan bahwa: sebelum terjadinya perdebatan dan
perbedaan pendapat antara aliran al-Basrah dan al-Kufah dalam masalah nahwu,
kedua kota tersebut telah mempunyai pandangan politik yang berbeda.[1]
Demikian juga
Ahmad Amin, dia menyatakan bahwa perdebatan yang panas antara Basrah dan Kufah
dalam masalah nahwu dilatarbelakangi oleh fanatisme keduanya dalam berpolitik[2],
dan ada beberapa yang lainnya.
Sebelum al-Basrah
dan al-Kufah berbeda
pendapat dan terlibat
secara langsung pada kajian nahwu, dalam
sejarah tercatat bahwa dua
kota tersebut memang sudah ada
perbedaan, mulai dari
letak geografisnya, penduduknya,
kondisi sosial budaya, kondisi
politik, dan lain sebagainya.[3]
al-Tawil
menyatakan bahwa hampir disemua pembahasan nahwu telah terjadi perbedaan
pendapat antara madrasah Basrah dan
Kufah, lebih rinci al-Anbari[4]
telah menyebutkan dan menjelaskan seratus dua puluh satu (121) masalah nahwu
yang diperdebatkan antara madrasah Basrah dan Kufah. Perbedaan pendapat
tersebut berkaitan dengan al-amil, al-irab dan al-bina’, al-taqdim dan
al-ta’khir, dan permasalahan nahwu lainnya[5].
Permasalah
nahwu yang diperdebatkan madrasah al-Basrah dan al-Kufah ini tentunya
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan manhaj yang digunakan
masing-masing, perbedaan kondisi sosial-budaya antara masyarakat Basrah dan
Kufah, kondisi sosial-politik dan
lain-lainnya. Kondisi sosial-budaya dan sosial-politik mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap bahasa.
Ada berbagai
teori mengenai hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Menurut
Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Hubungan
antara bahasa dan kebudayaan merupakan
hubungan subordinatif, di mana bahasa berada di bawah kebudayaan. Masinambouw
(1985) menambahkan bahwa yang menjadi main sistem (sistem atasan) adalah kebudayaan sedangkan bahasa menjadi
subsystem. Dengan demikian maka yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah
budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh masyarakat penutur.
Menurut Silzer
(1990) bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping
mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sisi yang lain
berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam
bahasa, atau juga sebaliknya. Selain
itu, bahasa juga menggambarkan setting sosial yang sedang terjadi. Artinya situasi yang sedang
terjadi di masyarakat hampir tercermin di dalam praktik berbahasa, sebab
menurut Paina, salah satu peran bahasa adalah untuk membangun dan memelihara
hubungan sosial, untuk pengungkapan peran-peran sosial, termasuk peranan
komunikasi yang diciptakan oleh bahasa sendiri. Karenanya situasi yang aman dan
damai akan melahirkan simbol-simbol kebahasaan yang mantap dan stabil.
Sebaliknya, situasi yang bergejolak dan
tidak menentu juga akan tercermin dalam ungkapan-ungkapan bahasa yang bersifat
ambigu dan makna yang simpang siur.
Bedasarkan
penjelasan di atas, nampak jelas bahwa bahasa tidak bisa terlepas dari unsur
sosial budaya, dan sosial politik, demikian juga dengan bahasa Arab. Munculnya
perbedaan antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah serta madrasah yang lainnya
dalam masalah nahwu, nampaknya juga
tidak terlepas dengan kondisi sosial, budaya, dan politik masing-masing.
Karena itu,
penjelasan di atas mendorong penulis untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang
perdebatan antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah dalam masalah nahwu
yang akan terfokus kepada faktor-faktor
yang melatarbelakangi munculnya perbedaan pendapat antara kedua madrasah
tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
landasan epistimologi ilmu nahwu di Basroh?
2. Apa
landasan epistimologi ilmu nahwu di Kufah?
3. Apa saja
masalah-masalah yang diperdebatkan antara nahwu Basroh dan Kufah?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui apa landasan
epistimologi ilmu nahwu di Basroh
2. Untuk
mengetahui apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Kufah
3. Untuk
mengetahui apa saja masalah-masalah yang diperdebatkan antara nahwu Basrah dan
Kufah
[1]
Abd al-Karim Muhammad al-Asad,
al-Wasit fi Tarikh
al-Nahwi al-Arabi (al-Riyad: Dar
al-Shawwaf, 1992), 39. Ahmad Amin, Fazr al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 181.
[2]
Ahmad Amin, Duha
al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 469. Bandikan dengan
al-Sinjirji al-Madhahib
al-Nahwiyah fi Daw’i al-Dirasah al-Lughawiyah al-Hadithah (Jiddah:
al-Faysaliyah, 1986).
[3]
al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah watahlil wa taqwim (Makkah:
al-Maktabah al-Faysaliyah, 1984), 70-79.
[4]
Lihat al-Anbari, al-Insaf fi Masail al-Khilaf
bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (Mas: DarIhya al-Turath
al-Arabi)
[5]
Ibid. 195.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda