Kamis, 05 Juni 2014

ikhtilaf antara basroh dan kuffah






KATA PENGANTAR
            Sebelum pena tergoreskan dan sebelum buah pikir tertuangkan dalam tulisan terlebih dahulu marilah kita bertahmid terhadap Tuhan semesta alam Allah SWT. Karena dengan taufik dan inayahnya kita masih diberi kesempatan untuk hidup hingga saat ini, sehingga kita masih bisa  menambah pundi-pundi amal shalih kita sebelum memetiknya kelak di yaumil hisab.
            Shalawat berangkaikan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW. Muhammad ibn ‘Abdillah. Seorang Uswatun Hasanah dan Nabi akhir zaman. Tak usah kita hitung dengan jari jemarinya betapa banyak jasa beliau atas diri kita dan ummatnya yang telah membimbing kita kepada kebenaran dan shiraatal mustaqim yaitu diinul Islam.
            Tak lupa pula kami haturkan banyak terimakasih kepada dosen kami tercinta yaitu Bapak Tamim Mulloh,M.Pd yang telah bersedia mendidik kami dan berbagi khazanah keilmuan selama 1 semester ini. Telah banyak mutiara-mutiara keilmuan yang kami serap dari ide-ide dan buah pikir beliau. Semoga ilmu tersebut menjadi ilmu yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa tercinta.
           
Malang, 7 Mei 2014


Penulis,













BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kajian yang menghubungkan antara latar belakang sosial budaya dan politik al-Basrah dan  al-Kufah dengan perbedaan pandangan mereka dalam masalah kajian nahwu, dari hasil penelusuran  peneliti secara mendalam belum banyak dilakukan, hanya ada beberapa buku yang menyinggung tentang latar belakang sosial budaya dan politik al-Basrah dan al-Kufah yang dikaitkan dengan  perbedaan keduanya dalam masalah nahwu, itupun hanya mendeskripsikan permukaannya saja belum didukung dengan data dan argumentasi yang mendalam. Misalnya al-As`ad (1992) dalam karyanya al-Wasit fi Tarikh al-Nahwi al-Arabi menyebutkan bahwa: sebelum terjadinya perdebatan dan perbedaan pendapat antara aliran al-Basrah dan al-Kufah dalam masalah nahwu, kedua kota tersebut telah mempunyai pandangan politik yang berbeda.[1]
Demikian juga Ahmad Amin, dia menyatakan bahwa perdebatan yang panas antara Basrah dan Kufah dalam masalah nahwu dilatarbelakangi oleh fanatisme keduanya dalam berpolitik[2], dan ada beberapa yang lainnya.
Sebelum  al-Basrah  dan  al-Kufah  berbeda  pendapat  dan  terlibat  secara langsung pada kajian nahwu, dalam  sejarah  tercatat bahwa dua kota  tersebut memang sudah  ada  perbedaan,  mulai  dari  letak  geografisnya,  penduduknya,  kondisi  sosial budaya, kondisi politik, dan lain sebagainya.[3]
al-Tawil menyatakan bahwa hampir disemua pembahasan nahwu telah terjadi perbedaan pendapat  antara madrasah Basrah dan Kufah, lebih rinci al-Anbari[4] telah menyebutkan dan menjelaskan seratus dua puluh satu (121) masalah nahwu yang diperdebatkan antara madrasah Basrah dan Kufah. Perbedaan pendapat tersebut berkaitan dengan al-amil, al-irab dan al-bina’, al-taqdim dan al-ta’khir, dan permasalahan nahwu lainnya[5].
Permasalah nahwu yang diperdebatkan madrasah al-Basrah dan al-Kufah ini tentunya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu perbedaan manhaj yang digunakan masing-masing, perbedaan kondisi sosial-budaya antara masyarakat Basrah dan Kufah, kondisi  sosial-politik  dan  lain-lainnya. Kondisi sosial-budaya dan sosial-politik mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap bahasa. 
Ada berbagai teori mengenai hubungan antara bahasa dengan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Hubungan antara  bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, di mana bahasa berada di bawah kebudayaan. Masinambouw (1985) menambahkan bahwa yang menjadi main sistem (sistem atasan)  adalah kebudayaan sedangkan bahasa menjadi subsystem. Dengan demikian maka yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan  sikap yang dimiliki oleh masyarakat penutur.
Menurut Silzer (1990) bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua  buah fenomena yang terikat,  bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sisi yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya. Selain  itu, bahasa juga menggambarkan setting sosial yang  sedang terjadi. Artinya situasi yang sedang terjadi di masyarakat hampir tercermin di dalam praktik berbahasa, sebab menurut Paina, salah satu peran bahasa adalah untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peran-peran sosial, termasuk peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa sendiri. Karenanya situasi yang aman dan damai akan melahirkan simbol-simbol kebahasaan yang mantap dan stabil. Sebaliknya, situasi yang bergejolak  dan tidak menentu juga akan tercermin dalam ungkapan-ungkapan bahasa yang bersifat ambigu dan makna yang simpang siur.
Bedasarkan penjelasan di atas, nampak jelas bahwa bahasa tidak bisa terlepas dari unsur sosial budaya, dan sosial politik, demikian juga dengan bahasa Arab. Munculnya perbedaan antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah serta madrasah yang lainnya dalam masalah nahwu, nampaknya  juga tidak terlepas dengan kondisi sosial, budaya, dan politik masing-masing.
Karena itu, penjelasan di atas mendorong penulis untuk melakukan kajian lebih mendalam  tentang  perdebatan antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah dalam masalah nahwu yang akan terfokus  kepada faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya perbedaan pendapat antara kedua madrasah tersebut. 
B. Rumusan Masalah
1. Apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Basroh?
2. Apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Kufah?
3. Apa saja masalah-masalah yang diperdebatkan antara nahwu Basroh dan Kufah?
C. Tujuan Penulisan
            1. Untuk mengetahui apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Basroh
2. Untuk mengetahui apa landasan epistimologi ilmu nahwu di Kufah
3. Untuk mengetahui apa saja masalah-masalah yang diperdebatkan antara nahwu Basrah dan Kufah




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Landasan Epistemologis Ilmu Nahwu di Basrah
 Menurut catatan sejarah, nahwu sebagai suatu disiplin  ilmu dicetuskan pertama kali oleh orang-orang Basrah. Mereka berupaya untuk menjaganya dengan baik selama kurang lebih satu abad lamanya. Orang-orang Kufah datang ke sana untuk belajar lalu mereka  bahu  membahu  untuk  menyempurnakan  kaidah-kaidah  nahwu  tersebut. Semangat  kompetisi  yang  bergelora  di  hati mereka menjadi motivasi  dan  penambah semangat mereka  hampir mencapai  seratus  tahun  lamanya. Akhirnya  pada  permulaan masa  Daulah  Abbasiyah nahwu dipelajari dan diteliti secara luas di Basrah dan Kufah, dan mencapai puncaknya di Bagdad sebelum abad ketiga Hijriyah[6].
Nahwu yang dikonstruk di Basrah pada awalnya hanya merupakan kajian nahwu yang  tumbuh dan berkembang dengan tujuan untuk menghilangkan lahn yang sudah menyebar, terutama dikalangan non Arab[7]. Selanjutnya kajian nahwu semakin tumbuh dan berkembang pesat di Basrah  terutama setelah Kufah ikut serta terlibat dan mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedan karakteristik kajian nahwu antara Basrah dan Kufah dipengaruhi juga oleh perbedaan kondisi sosial, budaya dan pandangan politik[8] kedua kota tersebut.
Dilihat dari posisinya Basrah adalah salah satu kota yang berdekatan dengan orang-orang Arab pedalaman yang bahasanya belum tercemar oleh bahasa orang-orang asing yang tinggal di  perkotaan. Di sebelah barat, Basrah berdekatan dengan wadi Najd dan di sebelah selatan dengan Bahrayn[9].
 Di samping itu Basrah juga dekat dengan al-Marbad yang merupakan pasar seni Arab  yang  termasyhur pada masa permulaan Islam. Pasar seni ini sama dengan pasar seni Ukaz di zaman jahiliyah. Pasar ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang Arab dan orang-orang Basrah di mana mereka bertukar fikiran dan informasi. Di sini pula tempat berkumpulnya orang-orang perkotaan dan orang-orang pedesaan[10].
Dilihat dari struktur  penduduknya kota Basrah mempunyai penduduk yang memiliki kefasihan (fasahah) yang mengakar dan mendasar, karena mereka berasal dari kabilah-kabilah yang kondisi bahasanya paling bersih (kabilah Qays dan Tamim), disamping mereka mempunyai hubungan  yang erat dengan Arab Badui. Mereka menemui orang-orang Arab badui yang datang ke Basrah dan mengambil bahasa dari mereka dan bahkan sebaliknya mereka yang berkunjung ke Arab badui untuk mencari dalil-dalil dalam menetapkan kaidah-kaidah nahwu[11].
Di samping itu walaupun penduduknya terdiri dari berbagai strata, namun tidak terdapat  diskriminasi di antara masing-masing lapisan dan status sosial. Hal ini menunjang adanya  kebersamaan dan gotong royong antar seluruh lapisan masyarakat sehingga terjadi asimilasi sesama  mereka bahkan kadang-kadang sampai pada tahap pembauran[12].
Secara alamiah semua mereka menjadi penyambung lidah bahasa Arab fasih dan memudahkan bagi ulama Basrah untuk memperoleh apa yang diperlukan ketika mereka melakukan penyusunan kaidah-kaidah nahwu.
Dalam catatan sejarah, perkembangan ilmu nahwu paling tidak melalui empat fase, yaitu fase al-wad’i wa al-takwin (peletakan dasar-dasar dan pembentukan), fase al-nushu’ wa al-numuww (fase perkembangan dan pertumbuhan), fase al-nadj wa al-kamal (matang dan  sempurna), dan  fase  al-tarjih wa albast fi al-tasnif (fase penyederhanaan dalam penyusunan)[13].
Fase peletakan dasar-dasar nahwu dan prinsip-prinsipnya dimulai sejak munculnya ilmu nahwu itu sendiri yaitu oleh Abu al-Aswad al-Duali sampai pada masa Khalil bin Ahmad al Farahidi.  Pada fase ini nahwu hanya tumbuh dan berkembang di Basrah saja, sedangkan kota Kufah pada saat  yang bersamaan masih sibuk mengkaji dan mempelajari syair-syair, cerita-cerita, riwayah dan sejenisnya, mereka belum menyentuh sama sekali kajian nahwu, kecuali setelah tabaqah ketiga (yaitu generasi ulama ketiga di Basrah).
Adapun fase kedua dalam sejarah perkembangan nahwu adalah tahap al-nushu’ wa al-numuww. Pada fase ini Basrah tidak sendirian dalam mengembangkan teori-teori  nahwu, Kufah  sudah mulai ikut andil dalam merumuskan teori-teori baru dalam ilmu nahwu. Pada fase ini ulama Basrah sudah memasuki genarasi ketiga di bawah pimpinan Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sedangkan Kufah baru masuk pada generasi pertama yang dipimpin oleh Abi Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Ruasi[14].
Kajian nahwu yang dikembangkan pada fase ini juga sudah semakin meluas, tidak hanya  membahas awakhir al-kalimah (harakat  akhir  pada  setiap  kata) saja sebagai pokok bahasannya, tetapi juga sudah membahas tentang al-abniyah (perubahan bentuk kata)  yang belakangan dikenal dengan ilm al-sarf. Bahkan nahwu juga sudah dikaji bersamaan dengan kajian bahasa dan sastra, seperti yang telah dilakukan Khalil dalam kamusnya yang monumental “al-‘Ayn”, yang juga merupakan kitab pokok dalam kajian lingusitik Arab, dia telah menggabungkan antara kajian bahasa dengan nahwu[15].
Pada fase ini juga telah lahir dua madrasah  al-nahw (aliran  nahwu),  yaitu Madrasah  al-Basrah yang dipimpin oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, dan Madrasah al-Kufah yang dipimpin oleh Abi Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Ruasi. Bahkan al-Tantawi[16] menyebutkan telah terjadi perdebatan yang panas dan tanafus shadid (kompetisi yang ketat). pada fase ini antara ulama madrasah al-Basrah dan al-Kufah, misalnya antara al-Kisa`i  dengan al-Asmui>, antara al-Kisa`i dengan Sibawayh, dan antara al-Kisa`i dengan al-Yazidi, perdebatan ini semakin hari tidak semakin  berkurang bahkan semakin  panas, juga pada fase kajian nahwu memasuki tahap kesempurnaan dan matang secara teori.
Aliran Basrah dalam kajian nahwu sesungguhnya muncul setelah Kufah ikut terlibat langsung dalam kajian nahwu, artinya term nahwu Basrah muncul setelah ada nahwu Kufah. Sebelumnya Basrah hanya sendirian mengkaji dan mendalami nahwu[17]. Awal munculnya pemikiran nahwu adalah  dari Abu al-Aswad al-Duali di bawah bimbingan Ali bin Abi Talib.  Abu al-Aswad sendiri adalah dari  golongan shi`ah. Di Basrah Abu al-Aswad banyak menemui tantangan karena banyak orang-orang Basrah yang kurang pro al-Khalifah Ali khususnya dari para mawali. Tetapi Abu al-Aswad mempunyai andil yang besar terhadap mawali karena dialah yang berjasa memberi harakat al-Qur'an yang sangat membantu terhadap para mawali dalam mempelajari al-Qur’an. Di samping itu pula Abu al-Aswad sangat berjasa dalam membuat kaidah-kaidah bahasa Arab (nahwu) yang sangat membantu para mawali untuk dapat berbahasa Arab dengan benar.
B.     Landasan Epistemologis Ilmu Nahwu di Kufah
Kajian nahwu di Kufah muncul berselang kurang lebih seratus tahun setelah kajian nahwu di Basrah. Hal ini disebabkan karena di Kufah lebih disibukkan kajian terhadap hadis, fiqih dan qira`ah. Sedangkan di Basrah para ulama lebih disibukkan kajian bahasa, nahwu, filsafat dan mantiq. Disamping itu pula para penduduk Kufah lebih suka berpegang teguh terhadap tradisi-tradisi kuno. Karena di daerah tersebut banyak tinggal orang-orang yang asli Arab khususnya para sesepuh shahabat Nabi Muhammad saw. Seperti Amr bin Yasir, AbdAllah ibn Mas'ud dan lain sebagainya. Pada masa Ali, Kufah sebagai pusat kegiatan laskar tentara Islam. Maka dinamakan Kufah karena untuk tentara. Mungkin dengan sebab banyak kegiatan militer ini  para penduduk Kufah kurang  perhatiannya dalam mengikuti kebudayaan yang sedang berkembang sebagaimana Basrah[18].
Kufah adalah suatu kota di Irak yang terletak di sebelah kanan sungai Kufah yang merupakan salah satu cabang dari sungai Eufrat. Kota ini merupakan salah satu kota bersejarah di Irak yang dibangun oleh Sa'ad bin Abi Waqqas di masa pemerintahan Umar bin Khattab pada tahun 15 H[19].  Kufah menjadi pusat pemerintahan pada masa Khalifah Ali bin Abi Talib. Di sana terdapat sebuah mesjid dengan sebutan masjid Kufah dan di mesjid inilah Ali bin Abi Talib terbunuh. Kota ini merupakan lambang kebesaran Islam dan menjadi tempat tujuan dan tempat berkumpul orang-orang Islam[20].
Di masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan (644-656), pertentangan internal mulai  tampak. Kelompok elite suku Arab yang lebih dahulu tinggal di Kufah pada masa Umar merasa kedudukannya tergeser oleh para pendatang baru. Dalam pada itu, Kufah juga menjadi basis golongan pendukung  Ali bin Abi Talib[21].
Karena alasan politik, Khalifah Ali bin Abi Talib (656-661) memindahkan ibukota pemerintahan dari Madinah ke Kufah. Sejak itu, kota ini menjadi basis kekuatan pendukung Ali dan keluarganya[22]. Dukungan tidak hanya bersifat politik, tetapi telah berubah menjadi suatu akidah dan ideologi bahwa kepemimpinan umat harus dipegang Ali dan keturunannya. Kelompok mereka selanjutnya disebut Shi`ah.
Pergolakan  politik  menjadikan  Kufah  lebih menyerupai pusat militer untuk menumpas para pemberontak yang berakibat peperangan. Seperti Perang Jamal[23](656), yakni perang antara Ali dan pihak yang menuntut bela terhadap kematian Uthman bin Affan, dan perang Siffin[24](657), yakni perang antara Ali dan Muawiyah bin Abi  Sufyan. Akhirnya, Kufah menjadi saksi atas terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Talib pada Januari 661[25].
            Di masa Bani Umayyah (661-750), Kufah senantiasa menjadi sumber pemberontakan pro Shi`ah, antara lain pemberontakan di bawah pimpinan Muslim bin Aqil yang mengakibatkan terbunuhnya Husayn bin Ali bin Abi Talib di Karbala pada 680[26].
Sejak awal berdirinya, Kufah telah dibanjiri para Sahabat Nabi Saw. Di antara mereka yang paling terkenal di bidang ilmu adalah Ali bin Abi Talib dan AbdAllah bin Mas`ud (w. 33 H/652 M). Karena disibukan urusan politik dan peperangan, Ali tidak mempunyai kesempatan untuk mengajar.  Sebaliknya Ibn Mas`ud merupakan orang yang sangat berpengaruh di bidang ilmu[27]. Kufah  selanjutnya membentuk aliran tersendiri dalam bidang fikih dan pengetahuan bahasa Arab (nahwu) dan menjadi tandingan bagi Basrah.
Ahli sejarah mengungkapkan bahwa Kufah adalah tanah air  orang-orang Shi'ah ahl al-bayt. Di dalamnya muncul AbdAllah bin Saba`, ia mendapatkan lahan yang subur untuk menyebarkan ajakan menentang Muawiyah, Gubernur Sham waktu itu. Akibat dari fitnah dan hasutannya itu orang-orang Kufah menjadi marah kepada Uthman bin Affan yang waktu itu menjadi khalifah yang berkedudukan di Madinah. Kufah merupakan pusat pengendalian perlawanan melawan pemerintahan pusat yang berkedudukan di Madinah. Sebagaimana dikatakan  oleh al-Mas'udi bahwa penduduk Kufah adalah yang paling cepat menerima bay'ah Ali bin Abi Talib[28].
Sesuai dengan berlalunya masa, maka Shi'ah pun tumbuh dan berkembang di Kufah dan menimbulkan kejadian-kejadian yang merusak persatuan dan kesatuan umat Islam, di antaranya: perang  jamal dan perang Siffin pada tahun 36 H. Terbunuhnya Husayn bin Ali bin Abi Talib di Karbala pada  tahun 61 H[29]. Kejadian-kejadian tersebut berpengaruh terhadap kota Basrah dan Kufah.
Pada waktu Ali menjadi khalifah, ia memindahkan pusat pemerintahan- nya dari Madinah ke Kufah sehingga penduduk Kufah menjadi pendukung dan berpihak kepada Ali bin Abi Talib, sementara lawan-lawan politiknya seperti Aishah, Talhah dan Zubayr berada di Basrah dan mendapat dukungan dari orang-orang Basrah[30]  Pada waktu perang jamal pada tahun 36 H. kedua penduduk kota yang berbeda aliran politik ini berhadap-hadapan dalam peperangan[31].
Di  belakang hari Kufah menjadi pusat kegiatan perlawanan Abbasiyah sebagai tandingan dari pemerintahan Bani Umayyah yang menjadikan Basrah sebagai pusat kekuasaannya di daerah di bawah Khurasan. Dalam perlawanan antara dua kekuatan  politik ini, akhirnya Abbasiyah dapat menggantikan kekuasaan Daulah Umayyah di bawah tangan al-Saffah pada tahun 133 H./750 M. Dari kondisi ini dapat dikatakan bahwa Basrah dari sudut politik adalah Uthmaniyah Umawiyah, sementara Kufah adalah Alawiyah Abbasiyah[32].
Kondisi sosial-budaya dan politik yang berbeda di antara dua kota tersebut di atas mengakibatkan seringnya terjadi pertikaian antara kedua kota tersebut. Agaknya fanatisme kedaerahan berpengaruh pula terhadap perbedaan pendapat dalam bidang ilmu pengetahuan dan menimbulkan kompetisi dalam ilmu termasuk nahwu[33]. Berikut ini dipaparkan beberapa fakta yang berpengaruh terhadap posisi ilmu nahwu pada kedua kota tersebut:
Pertama:  Orang Kufah lebih dahulu dari orang Basrah dalam bidang kajian hadis, fiqh, qira`ah al-Qur`an. Mahdi al-Makhzumi mengatakan: bahwa orang Kufah adalah pemilik fiqh, hadis dan qira`ah.  Sementara itu orang-orang Basrah pemilik ilmu pengetahuan dan filsafat karena mereka banyak berasimilasi dengan orang ajam, mereka  lebih merdeka dalam menganut bebagai mazhab dan cepat mengambil budaya orang asing karena banyak sumbernya dan sering berpindah-pindah untuk keperluan perdagangan dan mencari rezki. Kufah lebih lemah dalam hal menghubungkan orang Arab dan non Arab dan dalam hal mengambil budaya asing[34].
Kedua: para mutakallimin (theolog Islam) abad I dan II H. terpengaruh dengan mantiq (logika) dan  filsafat yang berasal dari Yunani. Demikian pula keadaannya yang berlaku di kalangan ahli nahwu. Ahli nahwu yang banyak terpengaruh dengan filsafat Yunani itu kebanyakannya adalah ahli nahwu dari kota Basrah karena mereka lebih dekat ke sekolah Jundisabur Persi yang mana di sana diajarkan kebudayaan Yunani, Persi, dan India[35]. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa orang-orang  Basrah lebih siap dalam peletakan ilmu pengetahuan; sementara orang Kufah belum mencapai kedudukan sebagaimana yang dicapai oleh orang Basrah kecuali dalam lapangan yang terbatas. Oleh karena itu secara alamiah nahwu di Basrah dibentuk dengan gambaran ilmiah yang cermat dan rasional sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab nahwu yang dikarang oleh Sibawayh dan kitab-kitab lain yang beraliran Basrah. Demikian pula adanya pengaruh logika dan filsafat terhadap Basrah lebih  besar dibandingkan dengan yang terdapat di Kufah. Pengaruh ini akan terlihat pada perbedaan dalam bidang nahwu antara Bahrah dan Kufah.
Ketiga: Orang Irak khususnya orang Kufah banyak menambah hadith sahih dan memperbanyak  hadith maudu’i. Imam Malik menyebut Kufah sebagai Dar al-Darb karena banyak membuat-buat  hadith, seperti dar al-darb mengeluarkan dinar dan dirham. Ibnu Shihab berkata: "Hadis keluar dari kami sejengkal bila kembali ke Irak menjadi sehasta"[36].
Keempat: Kehidupan bahasa di kota Basrah dan Kufah pada abad permulaan Islam mengarah kepada  tiga masalah yaitu: pengumpulan bahasa, pembukuan, periwayatan syair dan peletakan kaidah-kaidah kebahasaan (qawa'id), sementara itu Basrah lebih dahulu sibuk dengan ilmu nahwu dari Kufah sekitar satu abad.
C.    Masalah-Masalah Nahwu yang Diperdebatkan
al-Anbari menulis sebuah buku yang berjudul al-Insaf fi masa’il al-Khilaf bayna al-Nahwiyin  al-Basriyin wa al-Kufiyin[37].  Kitab ini seperti yang dikatakan oleh pengarangnya merupakan kitab pertama yang mengupas perbedaan pendapat nahwu antara Basrah dan Kufah yang disusun dengan  pola seperti penyusunan perbedaan pendapat antara madhhab Shafi’i dan Hanafi dalam masalah Fiqh[38].
Dalam kitab ini, al-Anbari mengemukakan 121 masalah nahwu yang diperdebatkan antara Basrah dan Kufah. Teknik penyampaian yang digunakan: pertama-tama dia menyajikan pendapat al-Kufah kemudian pendapat al-Basrah disertai dengan alasan-alasannya, terakhir beliau memberi komentar dan penjelasan yang menurutnya benar.
Dari 121 masalah nahwu yang diperdebatkan antara Basrah dan Kufah, al-Anbari mendukung madrasah al-Kufah dalam tujuh masalah[39],  dua masalah dia mempunyai pendapat sendiri[40], dan selebihnya mendukung pendapat madrasah al-Basrah[41].
Perbedaan pendapat antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok masalah, yaitu al-mas’alah al-usuliyah, mawdu’at nahwiyah, dan mas’alah  juz’iyah. Berikut ini penjelasan masing-masing permasalah yang diperdebatkan tersebut.  
a.       al-Masail al-Usuliyah (masalah-masalah landasan)
al-Masail al-usuliyah adalah permasalah yang menjadi landasan madrasah al-Basrah dan al-Kufah dalam menetapkan kaidah-kaidah nahwu (manahij), yaitu: al-Sima‘ dan al-Qiyas.
Madrasah al-Basrah dan al-Kufah mempunyai pandangan yang berbeda tentang al-Sima‘. Perbedaan pandangan tersebut berkaitan dengan kabilah mana saja yang dapat didengar (bahasannya dapat dijadilan dasar) dan tidak dapat didengar.
Madrasah al-Basrah telah menetapkan kriteria kabilah yang bahasanya dapat dijadikan dasar penetapan kaidah, yaitu kabilah yang hidup di pedalaman padang pasir dan pegunungan serta belum pernah bercampur dengan orang ajam, yaitu kabilah Qays, Tamim, Asad, Hudhayl, Kinanah, dan al-Taiyyin[42]
Berbeda dengan madrasah al-Basrah, madrasah al-Kufah menjadikan seluruh bahasa yang digunakan oleh seluruh kabilah al-Arab sebagai dasar untuk menetapkan kaidah nahwu[43].
Dari sisi kriteria, Basrah sangat ketat terhadap manhaj al-sima‘, tidak semua kabilah dapat  diterima sebagai sumber bahasa yang dapat dijadikan sebagai dasar penetapan kaidah nahwu, Basrah sangat selektif terhadap pemilihan kabilah, setidaknya mereka yang mempunyai tingkat fasahah yang tingggi seperti Qays dan Tamim, juga yang tidak pernah bercampur dengan orang-orang ajam serta berada di pedalaman pegunungan. Sementara Kufah sangat mudah dan tidak ketat,  karena Madrasah al-Kufah menjadikan seluruh bahasa yang digunakan oleh seluruh kabilah dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan kaidah-kaidah nahwu, artinya bahwa seluruh bahasa/lahjah adalah merupakan kaidah nahwu sehingga tidak ada bahasa yang shadh atau yang bertentangan dengan kaidah.
Berkaitan dengan batasan waktu, madrasah al-Basrah dan al-Kufah berpendapat sama,  yaitu bahwa penduduk Arab yang dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan kaidah nahwu adalah  sampai pertengahan abad ke 2 (dua) Hijriyah bagi mereka yang tinggal diperkotaan, dan akhir abad ke 4 (empat) Hijriyah bagi mereka yang  tinggal di pedalaman (al-Badiyah)[44].
 Mereka menyatakan bahwa masyarakat Arab perkotaan setelah abad kedua Hijriyah dan masyarakat Arab badui setelah abad keempat Hijriyah, fasahah (kemurnian) bahasa mereka sudah berkurang karena sudah bercampur dengan lahjah ajam. 
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa madrasah al-Basrah hanya menjadikan  kabilah-kabilah tertentu saja yang bahasanya dapat dijadikan dasar penetapan kaidah nahwu melalui  manhaj al-sima‘ dan mereka juga memandang bahwa kabilah yang sudah bercampur dengan orang non Arab, tingkat kefasihannya semakin berkurang, karena itu bahasa mereka tidak dijadikan sebagai dasar melalui manhaj al-sima‘ dalam penetapan kaidah nahwu. Sedangkan madrasah al-Kufah memandang bahwa seluruh kabilah Arab dapat dijadikan sebagai dasar untuk penetapan kaidah nahwu, artinya bahwa seluruh bahasa Arab (lahjah) yang digunakan orang-orang Arab itulah kaidah nahwu[45].
Masalah usul kedua yang menjadi perbedaan pendapat antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah adalah masalah al-qiyas. Madrasah al-Basrah sangat memegang teguh terhadap al-qiyas, karena itu mereka disebut juga sebagai ahl al-qiyas. Sedangkan madrasah al-Kufah meskipun  tetap menjadikan al-qiyas sebagai dasar penetapan kaidah nahwu, tetapi al-Kufah lebih lentur[46].
Perbedaan pendangan terhadap al-qiyas ini dipengaruhi oleh pandangan keduanya terhadap al-sima‘, di mana madrasah al-Kufah sangat menghargai seluruh bahasa yang digunakan oleh kabilah-kabilah Arab melalui manhaj al-sima‘. Sementara madrasah al-Basrah hanya memilih kabilah tertentu saja yang kemudian dijadikan sebagai kaidah umum. Dari sini, al-Basrah kemudian melakukan al-qiyas terhadap kaidah umum yang telah ditetapkan, dan jika tidak dapat dilakukan al-qiyas, maka madrasah al-Basrah melakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, al-Taqdir wa al-Ta’wil[47], yaitu jika menemukan suatu bahasa yang digunakan oleh suatu kabilah atau bahkan ada dalam al-Qur`an yang bertentangan dengan kaidah yang sudah ditetapkan, maka madrasah al-Basrah melakukan metode al-Taqdir wa al-Ta’wil agar sesuai dengan kaidah tersebut. 
Sebagai  contoh:  Madrasah  al-Bas}rah  telah  menetapkan  kaidah  bahwa “idafah al-ism ila ism yuwafiquhu fi al-ma’na ghayru jaizah” (tidak diperbolehkan mengidafahkan kalimah ism kepada kalimah ism lain yang secara makna sama)[48]. Perhatikan ayat al-Qur‟an sebagai berikut:
إنَ هذا لهو حقَ اليقين
Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar (QS. 56: 95)
ولدار الأخخرة خير للَذين إتوا
Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa (QS. 12: 109)
فأنبتنا به جنَت وحبَ الحصيد
Lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji  tanaman yang diketam (QS. 50: 9)
وما كنت بجانب الغربىَ
 Dan tidaklah kamu (Muhammad)  berada di sisi yang sebelah barat (QS.  28: 44).
Kalimat-kalimatحقَ”, dan “اليقين   pada ayat-ayat di atas, antara kata yang pertama dan yang ke dua mempunyai arti yang sama. Haqq mempunyai arti yang sama dengan yaqin, dar dengan akhirah, hab dengan hasid, dan janib dengan gharbi. Madrasah al-Kufah membolehkan mengidafahkan ism kepada ism yang mempunyai arti yang sama seperti pada contoh ayat al-Qur`an tersebut di atas, karena menurutnya uslub (gaya bahasa) seperti itu sering digunakan dan bahkan dalam al-Qur‟an.
Madrasah al-Basrah mempunyai pandangan yang berbeda yaitu tidak membolehkan,  meskipun ada dalam al-Qur`an. Menurutnya tujuan utama dari  al-idafah adalah al-ta’rif wa  takhsis, karena itu tidak mungkin hal itu terjadi. Mereka tidak mungkin akan mengatakan bahkan bahasa al-Qur`an salah, untuk mempertemukan antara kaidah yang telah mereka tetapkan dengan bahasa yang ada dalam al-Qur`an, mereka menggunakan metode al-Taqdir wa al-Ta’wil. Menurut madrasah al-Basrah ada kata sebagai mudaf ilayh yang terbuang, sehingga taqdirnya  adalah:
بجانب المكان الغربىَ ,وحبَ الزرع الحصيد  ,ولدار الساعة الأخخرة  ,حقَ الأمر اليقين[49] .
Demikianlah madrasah al-Basrah melakukan al-Taqdir wa al-Ta’wil demi untuk  mempertahankan qawa`id nahwiyah yang telah mereka tetapkan sebagai kaidah umum yang harus diikuti. Kedua, al-Nadir wa al-Shadh, yaitu ungkapan yang jarang digunakan dikalangan al-Arab al-Fusaha’ (orang-orang Arab yang fasih), sedangkan al-Shadh adalah yang bertentangan dengan kaidah yang  telah ditetapkan oleh madrasah al-Basrah[50].
Jika madrasah al-Basrah menemukan uslub yang bertentangan dengan kaidah yang  telah mereka tetapkan dan tidak mungkin untuk dipertemukan dengan menggunakan metode al-Taqdir wa al-Ta’wil, maka mereka akan menetapkan bahwa uslub bahasa tersebut nadir (jarang) atau bahkan shadh (menyimpang).
Ketiga, Tahti’ah al-Arab, yaitu menetapkan bahwa bahasa yang digunakan adalah salah, karena tidak sesuai dengan kaidah yang telah mereka tetapkan sehingga tidak bisa diqiyaskan[51].
Sibawayh dalam al-Kitab nya mengatakan bahwa ungkapan orang Arab Berikut:إنهم أجمعون ذاهبون, وإنك وزيد ذاهبان" adalah salah, meskipun ungkapan tersebut digunakan oleh sebagian orang-orang Arab, karena menurutnya (menurut madrasah al-Basrah) bahwa ta’kid ism inna dan yang diatafkan kepada inna adalah mansub bukan marfu’ seperti pada contoh di atas, sehingga yang benar adalah: 
إنهم أجمعين ذاهبون, وإنك وزيدا ذاهبان” 
Demikianlah madrasah al-Basrah dalam mempertahankan kaidah nahwu yang telah mereka tetapkan sebagai kaidah baku yang harus diikuti. Jika bertentangan dengan kaidah tersebut, maka seperti yang dijelaskan di atas, mereka akan mengkompromikan dengan al-taqdir wa al-ta’wil, al-nadir wa al-shadh, dan tahti’ah al-‘arab.
b. Mawdu‘ah Nahwiyah (tema-tema umum)
  al-Tawil mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mawdu’ah nahwiyah yang diperdebatan madrasah al-Basrah dan al-Kufah adalah masalah-masalah umum,  di mana dalam masalah umum tersebut masih adalah pembahasan yang juga diperdebatkan madrasah al-Basrah dan al-Kufah, lebih lanjut al-Tawil menyatakan bahwa hampir tidak ada pembahasan dalam kajian  nahwu, kecuali telah terjadi perbedaan pendapat antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah[52].
  Masalah-masalah umum tersebut adalah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Fenomena al-i‘rab (perubahan harakat pada akhir kata)
Madrasah Basrah membedakan tanda-tanda al-i‘rab dengan tanda-tanda  al-bina’. Menurut mereka tanda al-i‘rab adalah: fathah, kasrah, dammah, dan sukun, sedangkan tanda al-bina’ adalah: nasb, jar, rafa‘, dan jazm.
Madrasah Kufah tidak membedakan antara tanda al-i‘rab dengan tanda al-bina’, menurut mereka semuanya sama. Sesungguhnya perbedaan ini tidak berdampak terhadap kajian nahwu, hanya istilah saja yang berbeda.
Perbedaan lain yang diperdebatkan adalah berkaitan dengan tanda i‘rabnya tathniyah (kata yang berarti dua) dan jama‘ al-mudhakkar al-salim (kata yang berarti tiga lebih untuk yang berakal). Basrah berpendapat bahwa alif, ya’ dan wawu adalah huruf  al-i‘rab. Sedangkan Kufah berpendapat  bahwa alif, ya’ dan wawu fungsinya sama dengan fathah, kasrah dan dammah sebagai tanda i‘rab. Perbedaan ini sekali lagi sangat teoritis tidak mengganggu kajian nahwu.
Fenomena i‘rab taqdiri juga menjadi perdebatan Basrah dan Kufah. Kufah tidak menerima  adanya i‘rab  taqdiri (yang diperkirakan, kemudian ditampakkan), berbeda dengan Basrah yang menerima adanya i‘rab taqdiri. pada contoh: إن محمَد جاءك أكرمه.. seperti pada contoh tersebut adalah marfu‘ karena adanya fi‘il yang kembali pada kata tersebut. Sedangkan Basrah berpendapat bahwa marfu‘ karena ada fi‘il yang ditaqdirkan[53].
2) al-Ishtiqaq (proses perubahan kata)
Madrasah Basrah dan Kufah berbeda pendapat tentang asal sebuah kata. Basrah berpendapat  bahwa  semua kata kerja (fi‘il) terambil dari masdar, sedangkan Kufah berpendapat sebaliknya bahwa masdar terambil dari kata kerja (fi‘il).
            Dasar dan argumentasi yang digunakan Basrah adalah bahwa masdar tidak terkait dengan waktu lampau, sekarang dan akan datang (zaman mutlaq), sedangkan fi‘il terkait dengan waktu  lampau, sekarang dan akan datang (zaman muqayyad). Oleh sebab itu yang muqayyad mengikuti yang mutlaq.
Adapun Kufah berargumentasi bahwa fi‘il dapat merubah masdar tetapi tidak sebaliknya, demikian juga bahwa masdar mengikuti fi‘il dalam masalah i‘lal (adanya huruf ‘illah alif, wawu dan ya’)[54].
3) Pembagian Kata Kerja
Madrasah Basrah dan Kufah sama-sama membagi kata kerja menjadi tiga, tetapi dengan pembagian yang berbeda. Basrah memabagi kata kerja menjadi fi‘il madi, fi‘il mudari, dan fi‘il amr.  Sedangkan Kufah membaginya menjadi fi‘il madi, fi‘il mudari, dan fi‘il  mustamir. Kufah menjadikan  fi‘il amr sebagai bagian dari fi‘il mudari[55]
4) al-Tadmin
al-Tadmin adalah adanya kandungan kata terhadap kata yang lain. Basrah menolak keberadaan huruf jar yang dapat menggantikan huruf jar lainnya. Menurutnya huruf jar sama juga  seperti huruf nasb dan huruf jazm, di mana tidak bisa saling menggantikan. Sedangkan madrasah Kufah membolehkan hal tersebut, pada contoh ayat al-Qur‟an berikut: [56]فليخذر الذين يخالفون عن أمره. Pada ayat tersebut Madrasah Kufah berpendapat bahwa huruf jar  عنmenggantikan huruf jar في.
Madrasah Basrah berpendapat bahwa al-tadmin boleh dilakukan hanya pada al-af‘al saja. Karena itu, pada ayat di atas yang menempati kata yang lain adalah kata kerjaيخالفون , menempati kata kerja yang bermakna يخرج.[57].
5) Dhama`ir
Masalah yang diperdebatkan oleh madrasah Basrah dan Kufah pada dama’ir adalah huruf asli yang ada pada setiap damir. Basrah berpendapat bahwa “أنا” adalah terdiri dari dua huruf asli, yaitu hamzah dan nun, sedangkan Kufah berpendapat merupakan satu kesatuan, bukan terdiri dari dua huruf, permasalahan yang hampir sama juga terjadi pada ism isharah dan mawsul[58].  
6) Susunan huruf
Madrasah Basrah dan Kufah berbeda pendapat tentang asal dari adawat nahwiyah. Yang dimaksud dengan adawat nahwiyah adalah huruf-huruf seperti لن, ليس, لكن, إلا, كم, سوف. 
Basrah dan Kufah berbeda tentang asal-usul dari setiap huruf tersebut. Perbedaan ini secara signifikan tidak banyak berpengaruh terhadap kajian nahwu[59]
Itulah beberapa contoh permasalah-permasalahan umum yang diperdebatkan oleh madrasah Basrah dan Kufah. Permasalahan tersebut telah melahirkan permasalahan-permasalahan cabang.
   c. Mas’alah Juz’iyah (permasalahan cabang)
Permasalah nahwu yang bersifat  juz’iyah (cabang dari masalah umum) yang diperdebatkan antara madrasah al-Basrah dan al-Kufah jumlahnya sangat banyak, al-Anbari menyebutkan ada seratus duapuluh satu masalah nahwu yang diperdebatkan madrasah al-Basrah dan al-Kufah[60]. Sedangkan al-Tawil menyebutkan ada empat ratus empal puluh sembilan permasalah cabang yang diperdebatkan madrasah al-Basrah dan al-Kufah[61].
Diantara permasalah nahwu cabang yang diperdebatkan Basrah dan Kufah seperti yang ditulis al-Anbari adalah: Asal kata ism, i‘rab al-asma’ al-sittah, yang merafa‘kan al-mubtada’ dan al-khabar, dan masih banyak lagi yang lain[62].
Permasalahan-permasalahan yang diperdebatkan dalam forum terbuka selanjutnya akan  dikaji dalam disertasi ini pada bab  IV,  sehingga dapat diketahui pengaruh kepentingan kekuasaan politik ikut berperan mengkontruk bangunan keilmuan nahwu Basrah dan Kufah.














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bahasa merupakan rangkaian kegiatan sosial. Bahasa sangat erat kaitannya dalam sendi  kehidupan, tidak sekadar alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan informasi  melalui seperangkat lambang  tertentu.  Bahasa  memiliki kekuatan  sosial  dan  bagian  dari  jati  diri  bangsa  sebagaimana  ungkapan  “Bahasa Menunjukkan  Jati Diri Bangsa”. Melalui  bahasa,  seseorang  dapat mengidentifikasi rumpun  masyarakat,  bahkan  mengenali  perilaku  dan  masyarakat  penuturnya.  Oleh karena  itu,  bahasa  sangat  berperan  penting  dalam  upaya memajukan  bangsa  sebagai bangsa yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur.
Perbedaan kondisi sosial-budaya Basrah dan Kufah berimplikasi pada perbedaan keduanya  dalam  mengkonstruk  nahwu.  Basrah  memang  ketat  dalam  menetapkan kabilah  yang  dapat  dijadikan  sebagai  dasar  penetapan  kaidah  nahwu,  yaitu:  kabilah Qays, Tamim, Asad, Hudhayl, Kinanah, dan al-T{aiyyin. Sedangkan Kufah telah menetapkan  seluruh  kabilah  Arab  dapat  dijadikan  dasar  penetapan  kaidah  nahwu.
Perbedaan manhaj nahwu yang digunakan diakbiatkan perbedaan kondisi sosial  budaya  masyarakat  Basrah  dan  Kufah.  Para  tokoh  penduduk  Basrah  pada umumnya ahli di bidang mantiq, filsafat dan  ilmu pengetahuan. Keahlian mereka pada bidang  mantiq,  filsafat,  dan  sain  secara  langsung  berpengaruh  terhadap  metodologi mereka  dalam  mengkaji  dan  meneliti  ilmu  nahwu.  Adapun  Kufah,  sebelum  mereka mengkaji  nahwu,  terlebih  dahulu  mereka  terlibat  langsung  dalam  kajian  al-Fiqh,  al-Hadith, Qira`ah al-Qur`an, dan kajian sastra.












Daftar refrensi
1.      Allamah, Tallal. Tatawwur al-Nahw al-Arabi fi Madrasatay al-Basrah wa al-Kufah. Bayrut: Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993
2.      Abdul Chaer. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta : PT. RINEKA CIPTA, 2003.
3.      al-As`ad,  Abd  al-Karim  Muhammad.  al-Wasit  fi  Tarikh  al-Nahw  al-Arabi. al-Rirad: Darl al-Syawâf, 1992
4.      al-Sinjirji, Mustafa Abd al-Aziz. al-Madhahib al-Nahwiyah fi Daw’i al-Dirasah al-Lughawiyah al-hadithah. Jiddah: al-Faysaliyah, 1986.
5.      al-Suyuti,  Jalal  al-Din  Abd  al-Rahman.  Bughyah  al-Wu’ah  fi  Tabaqah al-Lughawiyin wa al-Nuhah. Bayrut: al-Maktabah al-Asriyah, 2003.
6.      al-Tantawi, Muhammad. Nash’ah  al-Nahw wa  Tarikh Ashhar  al-Nuhah. Lubnan: Alam al-Kutub, 1997.
7.      Dayf, Shayqi. al-Madaris al-Nahwiyah . al-Qahirah: Dar al-Ma`arif, 1983).
8.      Hasan, Tammam. al-Lughah fi al-Mujtama’.  al-Qahirah: Alam al-Kutub, 2003.
9.      Tamim Mulloh.2014. Al Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi. Kepanjen: dream litera














                                                                                                                                                                         






[1] Abd  al-Karim Muhammad  al-Asad,  al-Wasit  fi  Tarikh  al-Nahwi  al-Arabi (al-Riyad: Dar al-Shawwaf, 1992), 39. Ahmad Amin, Fazr al-Islam  (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 181.
[2] Ahmad  Amin,  Duha  al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 469. Bandikan  dengan  al-Sinjirji  al-Madhahib al-Nahwiyah fi Daw’i al-Dirasah al-Lughawiyah al-Hadithah (Jiddah: al-Faysaliyah, 1986).
[3] al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah watahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faysaliyah, 1984), 70-79.
[4] Lihat al-Anbari, al-Insaf fi Masail al-Khilaf  bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (Mas: DarIhya al-Turath al-Arabi)
[5] Ibid. 195.
[6]al-Tantawi, Nash’ah al-Nahw wa Tarikh Ashhar al-Nuhah (Lubnan:  Alam al-Kutub, 1997), 19.
[7] Ahmad Amin menggambarkan bahwa ilmu nahwu bermula hanya merupakan aktivitas mendengarkan perkataan orang-orang tertentu yang dianggap fasih, kemudian dijadikan kesimpulan dan rumusan i’rab baik rafa’, nasab, jar, dan jazm. Ahmad Amin, Duha al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 457.
[8] Abd al-Karim Muhammad al-As`ad, al-Wasit fi Tarikh al-Nahw al-Arabi (al-Riyad: Dar al-Shawwaq, 1992), 34-38.
[9] al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah wa tahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faysaliyah, 1984),70.
[10] al-Sinjirji, al-Madhahib al-Nahwiyah fi Daw’i al-Dirasah al-Lughawiyah al-Hadithah (Jiddah: al-Faysaliyah, 1986), 20.
[11]Tamim Mulloh , al-Basith fi Ushulin Nahwi wa Madarisihi (malang: Dreamlitera Graha Al-Farabi, 2014). hal 106
[12] Mahdi al-Makhzumi, Madrasah al-Kufah wa Manhajuha fi Dirasah al-Lughah wa al-Nahw (al Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1958), 14.
[13] al-Tantawi, Nashah al-Nahwi wa Tarikh Ashhar al-Nuhah (Lubnan: Alam al-Kutub, 1997),  21.
[14] Ibid. 41.
[15] Ahmad Mukhtar Umar, al-Bahth al-Lughawi Inda al-Arab ma’a Dirasah li Qadiyah al-Ta’thir wa al-Ta’aththur (al-Qahirah: Alam al-Kutub, 1986). al-Tantawi, Nashah al-Nahwi wa Tarikh Ashhar al-Nuhah (Lubnan: Alam al-Kutub, 1997), 21-24
[16] al-Tantawi, Nash’ah al-Nahwi wa Tarikh Ashhar al-Nuhah (Lubnan: Alam al-Kutub, 1997), 30-34
[17] Kufah ikut mengkaji nahwu pada generasi ke tiga Basrah yang dipelopori oleh al-Ruasi, lihat al-Tantawi, Nashah al-Nahw wa Tarikh Ashhar al-Nuhah (Lubnan: Alam al-Kutub, 1997), 41
[18] Shawqi Dayf, al-Madaris al-Nahwiyah (al-Qahirah: Dar al-Ma`arif, 1983), 36-37.
[19] al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (al-Qahirah: al-Maktabah al-Tawfiqiyah, tt), 2/518
[20] Shafiq Gharbal, al-Mawsu'ah al-Arabiyah al-Muyassarah (al-Qahirah: Dar al-Qawmiyah,1965), 373., Farid Wajdi, Dairah al-Ma’arif juz VIII, 30. al-Mas' udi, Murij,  hal. 611.
[21] Ahmad Amin, Fazr al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 182
[22] Ahmad Amin,Fazr al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 182
[23] al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (al-Qahirah: al-Maktabah al-Tawfiqiyahtt), 3/3-67
[24] Ibn  al-Athir al-Shaybani, al-Kamil  fi al-Tarikh (Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmi>yah,1998), 3/161
[25] Ali dibunuh pada Bulan Ramadhan malam Jum`at  tahun 40 H. Lihat Ibn al-Athir al-Shaybani, al-Kamil fi al-Tarikh (Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), 3/254
[26] Husayn dibunuh pada tahun 61 H. Lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (al-Qa>hirah:  al-Maktabah al-Tawfiqiyah  tt), 3/331
[27] Ahmad Amin, Fazr al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi>, 2005), 184
[28] al-Mas'udi, Muruj al-Dhahab wa Ma‘adin al-Jawhar (Bayrut: Dar al-Kutub al-Lubnani, 1982), 2/352
[29] al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (al-Qahirah: al-Maktabah al-Tawfiqiyah tt),  3/3-67
[30] Ibn al-Athir  al-Shaybani, al-Kamil fi al-Tarikh (Bayrut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998), 3/99
[31] Sa'ad al-Afghani, Fi Usul al-Nahw (Bayrut: al-Maktab al-Islami, 1987), 217
[32] Mahdi al-Makhzumi, Madrasah al-Kufah wa Manhajuha fi Dirasah al-Lughah wa al-Nahwi (al-Qahirah: Sharikah Maktabah Mustafa al-Halabi, 1958), 66
[33] Pendapat ini senada dengan Ahmad Amin, Duha al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi,  2005),  469
[34] Mahdi al-Makhzumi, Madrasah al-Kufah wa Manhajuha fi Dirasah al-Lughah wa al-Nahwi (al-Qahirah: Sharikah Maktabah Mustafa al-Halabi, 1958), 66.
[35] al-Ta`wil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah wa tahlil wa  taqwim  (Makkah: al-Maktabah al-Faisaliyah, 1984), 80
[36] Ahmad Amin, Duha al-Islam (Bayrut: Dar al-Kitab al-Arabi, 2005), 152
[37] Muhammad Fasil Salih al-Samarai, Tanaqud al-Nuhah al-Basriyin wa al-Kufiyin min Khilal Kitab al-Insaf: Majallah al-Dirasah al-Lughawiyah Markaz al-Malik Faysal li al-Buhuth wa al-Dirasah al-Islamiyah al-Riyad Dhulhijjah (1426 H.): 105
[38] Nama lengkap al-Anbari adalah Kamal al-Din Abi al-Barakah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Abi Said al-Anbari, seorang ahli nahwu lahir pada tahun 513 H. dan wafat  tahun 577 H. al-Anbari, al-Insaf fi Masa'il al-Khilaf bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (al-Qahirah: Dar Ihya al-Turath al-Islami, tt). 13
[39] Masalah tersebut adalah masalah no 10 (al-amil fi al-ism al-marfu’ ba’d law la), 18 (taqdim khabar laysa ‘alayha), 26 (lam la’alla zaidah am asliyah), 70  (tark sarf al-ism al-ladhi yastahiqq al-sarf ‘ind al-darurah), 97
[40] Masalah tersebut adalah masalah ke 5 (tentang yang merafa‘kan al-mubtada’ dan al-khabar) dan masalah ke 84 (tentang Amil al-Jazm fi Jawab al-Shart)
[41] al-Anbari memandang bahwa madrasah al-Basrah lebih kuat dan benar dalam masalah yang diperdebatkan tersebut, karena itu al-Anbari mendukung al-Basrah dalam 112 masalah nahwu. Lihat  al-Anbari,  al-Insaf  fi Masail  al-Khilaf bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (al-Qahirah: Dar   Ihya al-Turath al-Islami, tt). Muh}ammad Fasil Salih al-Samarai, Abu al-Barakah bin al-Anbari wa Dirasatuhu al-Nahwiyah (Baghdad: Dar al-Risalah li al-Tibaah, 1985), 66
[42]al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah wa tahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faisaliyah, 1984),  107
[43] ibid. 108
[44] al-Suyuti, al-Iqtirah fi Usul al-Nahw (al-Hind: Hida Abad, 27. al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin  Dirasah wa tahlil wa taqwjim (Makkah: al-Maktabah al-Faisaliyah, 1984), 107
[45] Muhammad bin Ammar Darayn, Ta’thir al-Kufiyin fi Nuhah al-Andalus  (al-Riyad: Jami`ah al-Imam Muhammad bin Su`ud al-Islamiyah, 2006), 31-35
[46] al-Tantawi, Nash’ah al-Nahw wa Tarikh Ashhar al-Nuhah (Lubnan: Alam al-Kutub,  1997),  89. 
[47] al-Taqdir berarti mengira-ngirakan yang tidak tampak pada substansi, kemudian ditampakkan,  adapun al-Ta’wil berarti menginterprestasikan untuk menyesuaikan dengan kaidah tatabahasa yang telah ditetapkan
[48] al-Anbari, al-Insaf fi Masa'il al-Khilaf bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (al-Qahirah: Dar  Ihya al-Turath al-Islami, tt). 436-438
[49] al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah watahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faisaliyah, 1984), 145-147.  
[50] Ibid. 140
[51] Sibawayh, al-Kitab (al-Qahirah: Maktabal al-Khanji, 1988), 1/290
[52] al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah wa tahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faisaliyah, 1984), 195
[53]Permaslahan tersebut dapat dibaca di al-Anbari, al-Insaf fi Masa'il al-Khilaf bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (al-Qahirah: Dar Ihya al-Turath al-Islami), 593.
[54]ibid,  235
[55]ibid
[56] QS. Annur: 63
[57] al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah wa tahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faisaliyah, 1984), 208
[58] al-Tawil, al-Khilaf bayna al-Nahwiyin Dirasah wa tahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faisaliyah, 1984), 210-220
[59] Ibid. 220-229
[60]al-Anbari, al-Insaf fi Masa'il al-Khilaf bayna al-Nahwiyin al-Basriyin wa al-Kufiyin (al-Qahirah: Dar Ihya al Turath al-Islami, ), 832
[61] Ibid. 234-235
[62]ibid