PEMBAHASAN
Landasan
Epistemologis Ilmu Nahwu di Basrah
Menurut catatan sejarah, nahwu
sebagai suatu disiplin ilmu dicetuskan
pertama kali oleh orang-orang Basrah. Mereka berupaya untuk menjaganya dengan
baik selama kurang lebih satu abad lamanya. Orang-orang Kufah datang ke sana
untuk belajar lalu mereka bahu membahu
untuk menyempurnakan kaidah-kaidah
nahwu tersebut. Semangat kompetisi
yang bergelora di
hati mereka menjadi motivasi
dan penambah semangat mereka hampir mencapai seratus
tahun lamanya. Akhirnya pada
permulaan masa Daulah Abbasiyah nahwu dipelajari dan diteliti
secara luas di Basrah dan Kufah, dan mencapai puncaknya di Bagdad sebelum abad
ketiga Hijriyah[1].
Nahwu yang
dikonstruk di Basrah pada awalnya hanya merupakan kajian nahwu yang tumbuh dan berkembang dengan tujuan untuk
menghilangkan lahn yang sudah menyebar, terutama dikalangan non Arab[2].
Selanjutnya kajian nahwu semakin tumbuh dan berkembang pesat di Basrah terutama setelah Kufah ikut serta terlibat
dan mempunyai karakteristik yang berbeda. Perbedan karakteristik kajian nahwu
antara Basrah dan Kufah dipengaruhi juga oleh perbedaan kondisi sosial, budaya
dan pandangan politik[3] kedua
kota tersebut.
Dilihat dari
posisinya Basrah adalah salah satu kota yang berdekatan dengan orang-orang Arab
pedalaman yang bahasanya belum tercemar oleh bahasa orang-orang asing yang
tinggal di perkotaan. Di sebelah barat,
Basrah berdekatan dengan wadi Najd dan di sebelah selatan dengan Bahrayn[4].
Di samping itu Basrah juga dekat dengan
al-Marbad yang merupakan pasar seni Arab
yang termasyhur pada masa
permulaan Islam. Pasar seni ini sama dengan pasar seni Ukaz di zaman jahiliyah.
Pasar ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang Arab dan orang-orang Basrah di
mana mereka bertukar fikiran dan informasi. Di sini pula tempat berkumpulnya
orang-orang perkotaan dan orang-orang pedesaan[5].
Dilihat dari
struktur penduduknya kota Basrah
mempunyai penduduk yang memiliki kefasihan (fasahah) yang mengakar dan
mendasar, karena mereka berasal dari kabilah-kabilah yang kondisi bahasanya
paling bersih (kabilah Qays dan Tamim), disamping mereka mempunyai
hubungan yang erat dengan Arab Badui. Mereka
menemui orang-orang Arab badui yang datang ke Basrah dan mengambil bahasa dari
mereka dan bahkan sebaliknya mereka yang berkunjung ke Arab badui untuk mencari
dalil-dalil dalam menetapkan kaidah-kaidah nahwu[6].
Di samping itu
walaupun penduduknya terdiri dari berbagai strata, namun tidak terdapat diskriminasi di antara masing-masing lapisan
dan status sosial. Hal ini menunjang adanya
kebersamaan dan gotong royong antar seluruh lapisan masyarakat sehingga
terjadi asimilasi sesama mereka bahkan
kadang-kadang sampai pada tahap pembauran[7].
Secara alamiah
semua mereka menjadi penyambung lidah bahasa Arab fasih dan memudahkan bagi
ulama Basrah untuk memperoleh apa yang diperlukan ketika mereka melakukan
penyusunan kaidah-kaidah nahwu.
Dalam catatan
sejarah, perkembangan ilmu nahwu paling tidak melalui empat fase, yaitu fase
al-wad’i wa al-takwin (peletakan dasar-dasar dan pembentukan), fase al-nushu’
wa al-numuww (fase perkembangan dan pertumbuhan), fase al-nadj wa al-kamal
(matang dan sempurna), dan fase
al-tarjih wa albast fi al-tasnif (fase penyederhanaan dalam penyusunan)[8].
Fase peletakan
dasar-dasar nahwu dan prinsip-prinsipnya dimulai sejak munculnya ilmu nahwu itu
sendiri yaitu oleh Abu al-Aswad al-Duali sampai pada masa Khalil bin Ahmad al
Farahidi. Pada fase ini nahwu hanya
tumbuh dan berkembang di Basrah saja, sedangkan kota Kufah pada saat yang bersamaan masih sibuk mengkaji dan
mempelajari syair-syair, cerita-cerita, riwayah dan sejenisnya, mereka belum
menyentuh sama sekali kajian nahwu, kecuali setelah tabaqah ketiga (yaitu
generasi ulama ketiga di Basrah).
Adapun fase
kedua dalam sejarah perkembangan nahwu adalah tahap al-nushu’ wa al-numuww.
Pada fase ini Basrah tidak sendirian dalam mengembangkan teori-teori nahwu, Kufah
sudah mulai ikut andil dalam merumuskan teori-teori baru dalam ilmu
nahwu. Pada fase ini ulama Basrah sudah memasuki genarasi ketiga di bawah
pimpinan Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sedangkan Kufah baru masuk pada generasi
pertama yang dipimpin oleh Abi Ja`far Muhammad bin al-Hasan al-Ruasi[9].
Kajian nahwu
yang dikembangkan pada fase ini juga sudah semakin meluas, tidak hanya membahas awakhir al-kalimah (harakat akhir
pada setiap kata) saja sebagai pokok bahasannya, tetapi
juga sudah membahas tentang al-abniyah (perubahan bentuk kata) yang belakangan dikenal dengan ilm al-sarf.
Bahkan nahwu juga sudah dikaji bersamaan dengan kajian bahasa dan sastra, seperti
yang telah dilakukan Khalil dalam kamusnya yang monumental “al-‘Ayn”, yang juga merupakan
kitab pokok dalam kajian lingusitik Arab, dia telah menggabungkan antara kajian
bahasa dengan nahwu[10].
Pada fase ini
juga telah lahir dua madrasah al-nahw
(aliran nahwu), yaitu Madrasah al-Basrah yang dipimpin oleh Khalil bin Ahmad
al-Farahidi, dan Madrasah al-Kufah yang dipimpin oleh Abi Ja`far Muhammad bin
al-Hasan al-Ruasi. Bahkan al-Tantawi[11]
menyebutkan telah terjadi perdebatan yang panas dan tanafus shadid (kompetisi
yang ketat). pada fase ini antara ulama madrasah al-Basrah dan al-Kufah,
misalnya antara al-Kisa`i dengan
al-Asmui>, antara al-Kisa`i dengan Sibawayh, dan antara al-Kisa`i dengan
al-Yazidi, perdebatan ini semakin hari tidak semakin berkurang bahkan semakin panas, juga pada fase kajian nahwu memasuki
tahap kesempurnaan dan matang secara teori.
Aliran Basrah
dalam kajian nahwu sesungguhnya muncul setelah Kufah ikut terlibat langsung
dalam kajian nahwu, artinya term nahwu Basrah muncul setelah ada nahwu Kufah.
Sebelumnya Basrah hanya sendirian mengkaji dan mendalami nahwu[12].
Awal munculnya pemikiran nahwu adalah
dari Abu al-Aswad al-Duali di bawah bimbingan Ali bin Abi Talib. Abu al-Aswad sendiri adalah dari golongan shi`ah. Di Basrah Abu al-Aswad
banyak menemui tantangan karena banyak orang-orang Basrah yang kurang pro
al-Khalifah Ali khususnya dari para mawali. Tetapi Abu al-Aswad mempunyai andil
yang besar terhadap mawali karena dialah yang berjasa memberi harakat al-Qur'an
yang sangat membantu terhadap para mawali dalam mempelajari al-Qur’an. Di
samping itu pula Abu al-Aswad sangat berjasa dalam membuat kaidah-kaidah bahasa
Arab (nahwu) yang sangat membantu para mawali untuk dapat berbahasa Arab dengan
benar.
[1] Mulloh Tamim, al-Basith fi Ushulin
Nahwi wa Madarisihi (malang: Dreamlitera Graha Al-Farabi, 2014), 105
[2] Ahmad Amin menggambarkan bahwa ilmu
nahwu bermula hanya merupakan aktivitas mendengarkan perkataan orang-orang
tertentu yang dianggap fasih, kemudian dijadikan kesimpulan dan rumusan i’rab
baik rafa’, nasab, jar, dan jazm. Ahmad Amin, Duha al-Islam (Bayrut: Dar
al-Kitab al-Arabi, 2005), 457.
[3] Abd al-Karim Muhammad al-As`ad,
al-Wasit fi Tarikh al-Nahw al-Arabi (al-Riyad: Dar al-Shawwaq, 1992), 34-38.
[4] al-Tawil, al-Khilaf bayna
al-Nahwiyin Dirasah wa tahlil wa taqwim (Makkah: al-Maktabah al-Faysaliyah,
1984),70.
[5] al-Sinjirji, al-Madhahib al-Nahwiyah
fi Daw’i al-Dirasah al-Lughawiyah al-Hadithah (Jiddah: al-Faysaliyah, 1986),
20.
[6] Mulloh Tamim, al-Basith fi Ushulin
Nahwi wa Madarisihi (malang: Dreamlitera Graha Al-Farabi, 2014), 106
[7] Mahdi al-Makhzumi, Madrasah al-Kufah
wa Manhajuha fi Dirasah al-Lughah wa al-Nahw (al Qahirah: Mustafa al-Babi
al-Halabi, 1958), 14.
[10] Ahmad Mukhtar Umar, al-Bahth
al-Lughawi Inda al-Arab ma’a Dirasah li Qadiyah al-Ta’thir wa al-Ta’aththur
(al-Qahirah: Alam al-Kutub, 1986). al-Tantawi, Nashah al-Nahwi wa Tarikh Ashhar
al-Nuhah (Lubnan: Alam al-Kutub, 1997), 21-24
[12] Kufah ikut mengkaji nahwu pada
generasi ke tiga Basrah yang dipelopori oleh al-Ruasi, lihat al-Tantawi, Nashah
al-Nahw wa Tarikh Ashhar al-Nuhah (Lubnan: Alam al-Kutub, 1997), 41
1 Komentar:
emperor casino - Shootercasino
Visit this website for real money casino games 샌즈카지노 and tournaments - 인카지노 all live on the 제왕 카지노 same desktop browser. All games are hosted on one server. Play and win!
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda